(Cerita ini adalah bagian dari karya Garin Nugroho yang dipentaskan di acara Dongeng Perubahan: Terpinggirkannya Pasar Pinggiran di PP Muhammadiyah, 18 Juni 2009, saya tidak berhasil merekamnya, tetapi saya sadur sesuai dengan ingatan saya. Semoga Garin mengikhlaskannya untuk saya sadur dengan tidak bertujuan untuk kepentingan komersial)
Adalah seorang ibu dan bapak guru yang telah pensiun. Sekalipun pensiun, uang bulanan mereka jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ibu, untuk menambal kebutuhan hidup berjualan matengan dengan menyewa sebuah los pasar yang tak seberapa. Lumayan.
Bapak, sembari berbagi tugas dengan ibu mulai dari kulakan, masak dan melayani pembeli, dia melengkapi restoran kecilnya dengan beberapa rak buku-buku. Sebuah perpustakaan kecil. Di rak tersebut terpajang buku-buku tentang tokoh-tokoh pemimpin bangsa dari berbagai negara. Kisah tentang riwayat hidup mereka, suka duka mereka , dan juga succes story yang ditorehkan dalam biografi, otobiografi dan atau barangkali hanya sekadar legenda kuno. Walhasil, ruangan yang sudah sempit oleh meja kursi ini kemudian tambah sempit karena ‘digusur’ oleh perpustakaan.
Ibu bertanya kepada Bapak,” Mengapa Bapak menaruh perpustakaan di sini? Bukankah ada dan tidaknya perpustakaan itu tidak menambah pelanggan? Bahkan Bapak tambah kerjaan karena harus merapikan kembali setelah buku-buku dibaca pelanggan. Terkadang, buku-buku itu juga kotor karena kena minyak dan makanan, dan Bapak harus membersihkannya. Kalau ada anak-anak kecil ke mari, Bapak pun harus menyelakan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanya annya. Apa mau Bapak?
Bapak hanya tersenyum.
Seiring berjalannya waktu, dari laba sedikit demi sedikit, mereka menambahkan sebuah televisi kecil untuk menarik jumlah pelanggan. Sebuah televisi yang biasa disebut sebagai kotak hiburan, kotak yang ‘wajib’ ada di setiap rumah. Dari kotak itu muncullah berita-berita yang dari penjuru tanah air yang memberitakan peristiwa kepada Bapak, Ibu dan pelanggan restoran.
Suatu saat, muncullah sosok yang tidak asing bagi Bapak dan Ibu. Seorang yang berbicara di podium internasional. Seseorang yang sukses mengenalkan Indonesia kepada dunia. Seseorang yang memiliki riwayat mendarmabaktikan dirinya, dedikasinya dan kerjanya demi kemajuan rakyat Indonesia.
“Pak, pak..”, ibu mengajak bapak dengan wajah sumringah.
“Bukankah itu adalah salah satu pelanggan kita? Bukankah dia adalah orang yang kerap membaca buku-buku Bapak di sini? Lihatlah, pak..Betapa bangganya kita, Pak.”
Seorang anak kecil, anak seorang pelanggan, tertarik, datang melihat kotak televisi yang dilihat mereka.
“Siapa itu, Kek?”
Bapak tersenyum.
“Dia adalah buah dari perpustakaan ini.”
Sebuah kebanggaan mengalir kepada mereka. Mereka tetap menjadi seorang guru meskipun tidak memberikan pelajaran layaknya di depan kelas. Mereka telah menghantarkan ilmu, meskipun bisa jadi sang tokoh itu tidak pernah mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ibu Guru pemilik warung berperpustakaan itu.
Tetapi adegan di dalam kotak televisi, beberapa saat berubah. Di sela sela itu muncullah seorang pelawak dengan tawa dan tawa dan tawa….menantang setiap yang ada di rumah untuk menelpon dan mengatakan:” Ayo..ayoo… telponlah segera.. mudah sekali dan dapatkan dua juta rupiah hanya dalam beberapa menit.”
Seolah dikagetkan dengan hal yang tak masuk akal itu. Bapak dan Ibu mengrenyitkan dahi. Mereka membanting tulang dengan setiap bulan dari warung hanya cukup untuk mengisi kesibukan dan makanan sehari-hari, tetapi kotak itu mengatakan: mudah sekali mendapatkan uang.
Setelah selesai itu, muncullah cerita anak muda di sebuah ruang ber AC, berjalan dengan baju dan pakaian menarik, dandanan menor dan serba kosmetik, tetapi sampai pada suatu titik mereka berkata:”Capek ah…..” dan kemudian mereka duduk. Bahkan nafas terengah pun belum sempat mereka dengar.
Adegan demi adegan berikutnya seolah memaksa mereka bahwa mereka sedang berada dalam keterasingan. Sungguh hal-hal yang tak masuk di akal dipaksakan kepada otak Bapak dan Ibu untuk menelannya tanpa bisa memuntahkannya.
Ibu menutup mata anak kecil yang nampak terpukau. Sekarang yang dikepalanya hanyalah satu: mengenyahkan kotak bernama televisi itu. Secepatnya(* )